SALAH SANGKA

Nyala lampu sudah seperti nyala lilin, Tetesan embun yang sejuk kini mulai menghangat, hujan hanya sesekali menghampiri, beribu pepohonan kini tumbang 900, dan sudah tidak ada lagi pagi dan malam yang dirasakan, hanya ada gelap panas serta kokokan ayam yang menjadi samar.

Aku merasa tak nyaman lagi tinggal di sini, serasa aku disetrika oleh suasana ini. Sepanjang hari pakaian serta handuk selalu basah. Melihat keadaan seperti ini aku mulai menyadari bahwa semua ini tidak boleh dibiarkan berlalu begitu saja.

Sebagai satu-satunya putra daerah yang lanjut sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, aku harus menanggung segala hal yang sangat bertolak belakang dengan pola pikirku dengan masyarakat di sini, hingga ujian terberat harus juga aku lalui, sebab kali pertama aku dan ayah tak sepaham.

Aku hanya seorang diri, dalam kesendirian itu aku bertekad untuk menyakinkan ke mereka bawha kita harus menjaga kelestarian hutan tanah kita. Setiap harinya aku ke luar rumah tanpa sahabat lagi, keluargaku pun mulai menjauh entah mengapa. Aku merasa bersalah namun aku tak sanggup melihat alamku menangis dan budayaku memudar.

Suara mesin dari semua sudut setiap hari bergemuruh, 4 sudut setiap hari aku sapa dengan nada yang sopan namun yang hanya balasan ludah kadang mengenai wajahku. Aku sedih melihat ini semua. Sudah hampir 3 bulan aku berusaha untuk menghentikan aktifitas ini semua. Namun, tak ada yang berubah, hanya jutaan maki yang aku dapat.

Aku mulai menyerah, dan sudah 5 hari aku mengurung diri di rumah. Hari ini aku duduk di ruang tamu dengan dengan pintu yang tertutup. Empat jam aku di sini sembari mendengar mesin-mesin warga merobek kulit tian langit, tiba-tiba terdengar suara ketukan jari yang manis dari pintu utama. Segeralah aku membuka pintu itu.

Sosok yang nampak bukan ayah, bukan adik, dan bukan ibu. Dia adalah sahabat sejawatku di UNM. Ismi namanya. Entah aku bermimpi atau dia yang bermimpi. Aku sungguh tak duga kalau dia akan menghamipiriku di desa ini. Aku dan ismi sama-sama cinta lingkungan dan budaya, 3 tahun kami bersama, dulu teman-teman manggil kami tong sampah organic dan anorganik. Kami menanggapi lapang panggilan itu. Kini hatiku mulai merontak kembali. Aku berharap kedatangan ismi banyak membantu kegiatanku di kampung ini. Terbukti hanya dalam kurung waktu 3 bulan pola hidup masyarakat di sini sudah ada perubahan. Mereka sudah jarang menguliti tiang langit itu.

Kemajuan desaku menuju desa yang hijau kini sudah menatap masa depan yang indah. Rasa kagumku kini mengkhwatirkanku untuk cinta yang dulu kami. Ismi, semuanya berubah di desa ini semenjak kamu datang, sapaku. Ismi, tersenyum malu.

Aku tak tahu alasan ismi menghampiriku di desa ini. Aku tak pernah membayangkan kalau ismi akan hadir di sini. Setiap hari ismi menggantikan tugas ibu di rumah. Ismi yang menyiapkan segalanya di rumah. Sangat aneh anak ini.

Suatu ketika aku duduk diberanda rumah sembari menikmati udara yang sejuk. Tiba-tiba ismi menghampiriku dari belakang, aku kaget dengannya, tiba-tiba saja dia memberiku sepucuk surat yang sudah kusam.

Ismi: Surat buat kamu.

Aku: Surat apa nih ismi?

Ismi: Janganki’ bacaki di sini.

Aku:  okey.. Kalau begitu aku masuk ke kamar dulu.

Ismi: iye’

Penasaran dengan surat ini, aku bergegas ke kamarku. Tanpa berlama-lama aku merobek bagian atas surat itu secara perlahan. Pikirku surat itu ungkapan kasih ismi untukku.

Namun ungkapan surat  itu bukan ungkapan indah yang aku pikirkan untukku. Namun, untuk Farid sahabatku. Cinta kami yang dulu kini hanya sebatas harapan untukku. Kini ismi naksir dengan sahabatku. Mungkin itu alasan ismi menghampiri aku di desa ini.

Namun, aku tak mau menyalahkan ismi, dia bebas mencintai.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERTANYAAN WAWANCARA ADS/AAS

THOUSANDS QUESTIONS

MEMILIH KAMPUS UNTUK APLIKASI BEASISWA ADS/AAS