Surat Yang Tak Terbalas
Suara gesekan pakaian di malam hari, se-baskom pakaian telah aku cuci, sambil mengucek pakaian aku memikirkan sebuah cerita, dan aku menulis di paragraf berikutnya. Setelah angka itu, maka itulah awal cerinya. 1,2 dan 3............?
Kemarin ku langkah-kan kakiku ke kampus, aku tak seperti temanku yang lain. mereka berkendara ke kampus dan menggunakan mobil angkutan kota. aku hanya berjalan menuju kampus orange di daerah parangtambung. aku ingin seperti mereka, namun apa daya ayah dan ibuku hanyalah seorang pengajar biasa yang tidak digaji oleh pemerintah, kebutuhan sehari-hari pun kami terkadang tak ter-cukupi. Ayah dan ibuku tinggal di sebuah desa terpencil di dataran Bulukumba bersama 3 orang adikku. Akulah anak sulung mereka, mereka menyuruh-ku untuk melanjutkan sekolah di Makassar, pada hal aku sudah beritahu mereka, kalau bapak dan ibu tidak dapat membiayai-ku, tidak usah dipaksakan pak. Namun ayah dan ibuku bersih kukuh untuk menyekolahkan-ku hingga ke-bangku perkuliahan.
Aku bangga menjadi bagian dari keluarga mereka, mereka sungguh pantang menyerah, tekad itulah yang membuatku terus berdiri di kota ini. kini aku sudah semester 2, harapan besar ayah dan ibuku ada di pundak anak sulungnya, sesekali mereka menanyakan, apa kabarmu nak di makassar?, bagaimana kuliahmu nak?, dengan hati yang lapang aku menjawab sergapan mereka. Alhamduliilah, aku baik-baik bu, kuliahnya pun demikian yah, semoga ayah dan ibu serta adik-adikku pun demikian.
Sudah dua semester aku tak pernah melihat kampung halamanku, aku sangat merindukan suasanya, keramahan warganya, sikap kebersamaan warganya serta rasa tenggang rasa yang aku tidak pernah nikmati di kota sebesar ini. Aku berencana pulang untuk liburan semester kali ini, namun aku harus izin dulu dengan ayah dan ibuku, bukannya aku anak mami namun aku percaya bahwa segala sesuatu yang mendapatkan restu dari orang yang kita sayangi pasti mendapatkan berkah dari yang maha kuasa.
Malam ini kutulis sehelai kertas untuk orangtua-ku di kampung. Bunda dan Ayah, aku sangat merindukan pelukanmu,merindukan sahabat kecilku (adikku) merindukan air sumur yang ada ditepi sungai, merindukan pematang sawah, merindukan susasana rumah, kampung serta teman-teman nanda. Libur semester ini nanda berencana balik ke kampung untuk mereka. kalau bunda dan ayah mengizinkan balik ke kampung, nanda akan pulang secepatnya. Itulah isi surat ku untuk ayah dan ibuku. Setelah kutulis surat itu aku bingung, surat ini mau aku titip dengan siapa agar dapat sampai ditangan ayah dan bundaku. Aku sama sekali tak punya keluarga di makassar, satu-satunya yang dapat aku titipi untuk membawa surat ini adalah teman aku dikampung yang kerjanya pengantar koran fajar. Aku tak punya telpon genggam tapi syukurlah temanku yang kerja sebagai pengantar koran fajar mempunyai telpon genggam.
Aku menghubungi temanku dengan telpon genggaman milik teman kos ku. Keesokan harinya aku menunggu temanku dipinggiran jalan A.P. Pettarani sekitar jam 2.00 dini hari. Tak lama aku menunggu, dengan laju mobil yang kencang dan tiba-tiba pelan lalu berhenti di depanku, dengan sigap temanku langsung turun dari mobil yang ditungganginya dan menyambarku dengan bahasa bugis, digani sure'nu?, dengan wajah yang berserih dan bahagia aku dengan sigap memberikan sehelai surat itu.
Aku kembali berjalan ke kosku sembari dalam benakku aku berharap surat ku di balas cepat oleh ayah dan ibuku. Perjalan menuju rumahku terdengar suara adsan berkumandan, aku pun berlekas menuju sumber suara itu dan menyempatkan shalat subuh dulu.
Jam 6.00. Aku sudah sampai di kos dan bersiap-siap ke kampus. Setoples ikan kering dikiriman bundaku dari kampung sekitar tiga bulan yang lalu aku makan. Sungguh enak terasa, setiap suapan nasi, aku mengingat ayah, bunda dan adik-adikku memakan menu yang sama denganku.
Jam 7.00. Aku berlekas ke kampus, kebiasaan sejak kuliah, aku berangkat 2 jam sebelum jam masuk kuliah, sebab jarak kos aku membutuhkan waktu tempuh 2 jam. setiap hari aku jalani kehidupan itu. Aku sudah terbiasa dengan itu. Hampir setiap hari aku jalani hal demikian.
Sudah 5 hari semenjak aku mengirim surat untuk ayah dan ibuku namun belum terbalas. Tepatnya pukul 9.00 sabtu malam, aku berjalan menuju Benteng Roterdam, dalam perjalan aku menyempatkan diri untuk mampir menontong berita di TV. Tiba-tiba aku tegang dan tak karuang sebab berita yang diliput adalah gempa bumi yang melanda Bulukumba. Niat ke bentengpun hilang, dan aku bergegas meninggalkan tempat itu untuk kembali ke kos. Dalam benakku, cuma ada ayah, ibu dan adik-adikku. Tetesan air mataku tak dapat aku bendung. Aku cuma bisa berdoa semoga mereka selamat, aku dapat berbuat apa-apa. untuk kembali ke kampungku, aku butuh dana Rp 80000. Uang segitu tak pernah aku punyai sejak awal aku masuk kuliah.
Surat yang tak terbalas-pun kini aku pahami. Itu semua karena gempa yang melanda kampungku.
condolences
BalasHapus