POLEMIK DAN REALITA PEMUDA KONTEMPORER
POLEMIK
DAN REALITA PEMUDA KONTEMPORER
Wahai
pemuda Indonesia, masih ingatkah kalian kata bapak bangsa kita
Berikan
1000 orang tua, maka saya akan membelah semeru, berikan saya 10 pemuda, maka
dunia akan tergoncang
Berbicara soal sumpah
pemuda, saya memiliki pandangan tersendiri bahwa saat ini sumpah pemuda yang
telah kita kenal sejak dulu, sejak kita memulai belajar sejarah di sekolah
dasar seharusnya menjadi tolak ukur semangat kepemudaan generasi Indonesia saat
ini. namun karena kita berbicara ‘seharusnya’ maka semua itu tidak akan
terwujud. Sehingga saya menwarkan sebuah solusi, bahwa harus ada tolak ukur
atau kriteria tersendiri yang mana yang boleh dikatakan pemuda. Mulai dari
usianya, semangat kebersamaannya, semangat nasionalisme, semangat
keingintahuannya, peduliannya, dsb. Kita harus perjelas diangka berapakah
mereka baru kemudian dikatakan pemuda Indonesia.
Sebab melihat fenomena
saat-saat ini yang mana telah terjadi reduksi massal jiwa nasionalisme,
kepatriotisme, serta sosialisme pemuda Indonesia. Dalam perspektif ini saya memberikan
tolak ukur sementara pemuda itu antara 17 – 27 tahun, sebab disaat-saat umur 17
-27 tahun, manusia sangat mudah untuk terkontaminasi oleh lingkungannya. Dahulu
pemuda-pemuda Indonesia memiliki cita-cita besar, yaitu memerdekakan Indonesia dari
segala aspek, berpatriot untuk tanah air hingga titik darah penghabisan, tidak
ada senjata, tidak ada professor muda, dan tidak ada alat-alat teknologi, namun
mereka mampu mewujudkan cita-cita tersebut. Sumpah mereka betu-betul sakral dan
hikmat, pertanyaannya apa yang membuat mereka begitu bergebuh-bergebuh untuk
bersatu meraih kemerdekaan? Dan apa alat pemersatu mereka untuk meraih
kemerdekaan? Jadikanlah pertanyaan tersebut menjadi renungan untuk kita sebagai
pemuda Indonesia kontemporer.
Pemuda Indonesia saat
ini tak bisa dipungkiri memiliki kualitas yang lebih baik dari segi pendidikan dibanding
dengan Ahmad Yamin, Soegondo, Sumario, dsb. Namun ada rasa sayang yang
berkonotasi lain dari kulitas pendidikan. Sehingga, tinngi pendidikan pemuda saat ini
tidak menjamin bahwa mereka memiliki jiwa nasionalisme, patriotisme, dan
sosialisme yang tinggi, bahkan terkadang yang nampak hanya kesombongan. Disisi
lain, mereka yang aktif didalam suatu wadah organisasi, sibuk meneriakkan nasib
rakyat yang ada di pedesaan dan di perbatasan, namun ketika uang sudah beramplop
putih sekan itu suci, mereka berhenti meneriakkan nasib rakyat yang ada di
pedesaan dan di perbatasan, bahkan mereka bergerombol menuju restauran kaum-kaum
kapitalis. Pemuda seperti ini yang tidak memiliki identitas sebagai generasi
muda Indonesia. Kejadian yang tak kalah memalukan adalah seringnya terjadi
gesekan (chaos) antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lainnya dengan
berbagai macam maslaah-masalah sepeleh. Apakah mereka pantas dinamakan pemuda
Indonesia?
Dari beberapa persoalan
kepemudaan saat ini, saya akan memberikan beberapa solusi untuk mengatasi hal
tersebut. Pertama-tama kita sebagai warga Negara Indonesia harus sadar betul
dengan melihat fakta-fakta yang terjadi di lapangan, bahwa mari kita mempererat
kembali sikap kegotong royongan sesama warga. Hal ini secara tidak langsung
menciptakan control sosial antar keluarga yang satu dengan keluarga yang lain,
anak yang satu dengan anak yang lain, remaja yang satu dengan remaja yang lain
agar tidak terjadi perselisihan antar individu, dan kelompok. Kedua, Pendidikan
karakter jangan hanya ada di kurikulum sekolah, tapi mulailah dari keluarga,
kita bisa mulai dari hal yang sederhana, semisal, tidak merokok di depan anak,
orang tua harus berbapakaian sopan jikalau ke luar dari kamar, dsb. Dan yang
terakhir, hilangkanlah gap antara si tua dan si muda agar terjadi saling
menghormati satu sama lain.
Jadi kesimpulannya
adalah, sebagai pemudah mari kita menyadari peranan kita, posisi kita, dan
siapa kita itu sendiri.
Komentar
Posting Komentar